IMAGOLOGI POLITIK IKLAN CAPRES DI TELEVISI

Di era informasi saat ini, tak bisa dihindari bahwa kita sudah begitu dekat dengan media. Berbagai bentuk informasi tersajikan dalam berbagai media, mulai dari jagat hiburan hingga berita. Begitu juga dengan jelang pilpres saat ini, media digunakan untuk menyebarkan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai “kehebatan” para kandidat capres. Media dijadikan salah satu alat kampanye yang dianggap cukup relevan, efektif dan efisien untuk mempersuasi masyarakat pemilih. Bahkan media juga digunakan untuk saling “serang” diantara para kandidat guna menaikkan pamor.
Berbagai strategi dilancarkan oleh tim sukses dari masing-masing capres untuk menarik perhatian masyarakat, salah satunya dengan melakukan imagologi politik. Imagologi adalah ilmu tentang citra atau imaji, serta peran teknologi pencitraan dalam membentuknya. Citra adalah sesuatu yang tampak oleh indra, akan tetapi tidak memiliki eksistensi yang substansial; suatu persamaan atau representasi atau visualisasi. Citra bisa merujuk pada suatu representasi visual dari realitas seperti terlihat pada foto, bisa merujuk pada konsepsi mental, atau imajinatif dari seorang individu, peristiwa, lokasi, atau objek. Imagologi Politik adalah kondisi yang di dalamnya realitas politik dibingkai dan sekaligus direduksi ke dalam prinsip dan wujud-wujud citra di dalam berbagai medianya (Piliang, 2005:xvii). Strategi iamgologi politik tersebut diterapkan dalam bentuk iklan kampanye. Iklan, merupakan alat ampuh untuk mempersuasi orang, karena sifatnya berdurasi singkat dan selalu diulang-ulang. Menjelang kampanye, iklan-iklan politik mulai bermunculan di media massa, karena sifatnya yang dapat menjangkau masyarakat luas secara efektif dan efisien.

Penggunaan iklan politik untuk menjangkau masyarakat pemilih, bukan merupakan hal yang gampang dilakukan bagi tim sukses. Mereka harus memahami “selera pasar” yang dalam hal ini adalah masyarakat tadi. Bisa kita lihat di media televisi sekarang, ada iklan politik yang ditayangkan mendukung salah satu capres, menggunakan salah satu jingle produk mie instan terkenal yang sudah sangat populer di masyarakat. Bahkan tak sedikit masyarakat yang mengira produk tersebut memihak capres tersebut. Ini merupakan salah satu cara tim sukses “mengelabui” pasar dengan meminjam jingle produk tersebut.
Sebuah iklan berkaitan dengan sistem tanda di dalamnya. Petanda-petanda merupakan konsep mental yang kita gunakan untuk membagi realitas dan mengategorikannya sehingga kita bisa memahami realitas tersebut. Ini berarti bahwa studi tentang tanda seringkali memberikan penekanan pada dimensi sosial komunikasi. Untuk membaca tanda-tanda yang dimunculkan dalam iklan, semiotika dapat digunakan sebagai perangkatnya. Ilmu semiotika memahami tanda-tanda atau simbol dan pemanfaatannya di masyarakat. Manusia adalah pelaku semiotika, dimana setiap hari kita lihat tanda ada dimana-mana. Kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalulintas, bendera, film, iklan dan sebagainya. Iklan sebagai objek semiotika, mempunyai fungsi komunikasi langsung. Iklan adalah sebuah ajang permainan tanda, yang selalu bermain pada tiga elemen tanda yang saling mendukung, yaitu objek, konteks dan teks.

Pada iklan politik yang berkaitan dengan ajang Pilpres 2009 ini, para kandidat bersama tim suksesnya mencoba menggunakan pesan-pesan yang tersirat dan tersurat dalam iklan untuk meraih masyarakat pemilih sebesar-besarnya, melalui strategi politik pencitraan tadi. Sebagaimana fungsi iklan, memiliki kecenderungan manipulatif, pesan iklan mengemas produk yang ditawarkan terlihat “lebih” atau meminjam istilah Piliang (2005), seduksi. Teknologi pencitraan membuka luas berbagai kemungkinan manipulasi dan permainan citra, rayuan, bujukan, godaan, janji, iming-iming, permainan penampakan (seduction). Wajah-wajah politikus ditampilkan dengan berbagai tampilan yang mempesona. Mereka ditampilkan peduli rakyat miskin, tidak bermewah-mewah, penuh empati, selalu mengedepankan kepentingan umum, dan sebagainya. Politik seduksi adalah wacana politik yang di dalamnya dikembangkan tanda-tanda artifisial, yaitu tanda yang terputus dari realitas yang direpresentasikannya, oleh karena itu ia adalah simulasi. Penampakan para politikus itu bukanlah representasi sosial, melainkan simulasi sosial. Mereka dihiasi dengan berbagai atribut kosmetika politik pencitraan, permainan tanda-tanda, bukan untuk melukiskan sebuah realitas politik, melainkan untuk menjauhkan masyarakat politik dari realitas yang sesungguhnya untuk digiring ke dalam realitas-realitas tanda di dalam berbagai media simulasi, termasuk iklan.

Seperti diungkapkan Piliang (2005), dunia politik di abad informasi adalah dunia politik yang dibingkai, orang lebih banyak melihat daripada berpikir. Dunia kesadaran politik lebih didominasi oleh kesadaran melihat citra, gambar, tayangan, dan informasi politik, ketimbang berpikir, merenung, dan refleksi tentang makna politik. Ketika dunia politik dibingkai di dalam dunia politik layar (televisi, film, internet), pandangan politik diambil alih oleh visi televisi yang membangunnya melalui bingkai-bingkai image yang lepas dari dunia realitas dan kebenaran sesungguhnya. Imagologi tidak terlepas dari pola masyarakat yang telah bertransformasi ke arah apa yang disebut Guy Debord sebagai society of the spectacle (masyarakat tontonan).

Imagologi Politik

Mari lihat iklan politik yang telah ditayangkan oleh beberapa media televisi, yang menampilkan politik pencitraan capres. Misalnya pada iklan “SBY presidenku” edisi biografi SBY. Iklan tersebut diawali dengan gambar SBY sedang bersepeda santai dengan kerabat dan sebuah komunitas sepeda. Dilanjutkan dengan pemunculan rangkaian video dan foto-foto keharmonisan SBY dan keluarganya. Dalam iklan itu digambarkan sosok SBY sebagai seorang pria dewasa yang penuh senyum, bijaksana, dan dapat membagi waktu dengan segala kesibukannya sebagai pemimpin negara. SBY juga ditampilkan sebagai seorang kakek yang begitu telaten sedang memotong rambut sang cucu pada acara aqiqahnya. Foto berikutnya menampilkan SBY bersama istri, anak dan keluarga besarnya sedang menikmati masa-masa bersama, membuat sambal ulek, menjenguk kelahiran cucu tersayang, hingga tamasya bersama keluarga sambil minum kelapa muda penuh keharmonisan. Foto Almira Tunggadewi Yudhoyono, sang cucu presiden sedang tersenyum menjadi penutup rangkaian iklan biografi SBY ini. Selain itu, iklan ini juga menampilkan sisi religius SBY, yang selalu berdoa dalam melakukan segala hal. Narasi yang muncul menjelaskan berbagai rangkaian foto tersebut. Berikut narasinya: SBY adalah sosok kepala keluarga yang bertanggung jawab, sekaligus ayah yang mengayomi. Selalu bisa menyisihkan waktu untuk keluarga disela-sela kesibukan tugas negara yang diembannya. Menghadirkan keharmonisan dan kebahagiaan bagi keluarga. Ksatria bagi bangsa sekaligus sahabat bagi keluarganya. Teladan bagi masa depan putra putrinya. SBY Presidenku.. [ Lanjutkan ].


Gambar 1. Rangkaian gambar-gambar yang muncul di iklan SBY, Presidenku di Televisi Nasional. (Sumber : Repro TVOne)

Makna denotasi yang tampak dari iklan SBY presidenku menampilkan sosok SBY yang begitu dekat dengan keluarganya. Profil kepribadian SBY sendiri dalam iklan tersebut ditampilkan sebagai figur lelaki dewasa modern. Selalu berpakaian rapi, modis, dan dalam setiap kesempatan, nampak kode pakaian SBY terlihat formal, sekalipun sedang bersantai dengan keluarga. Citra ke-bapak-an SBY begitu kental digulirkan oleh tim suksesnya pada iklan ini. “Ke-bapak-an” merupakan sifat yang sangat dekat dengan citra bijaksana, mengayomi, menjaga, peduli, pembuat nyaman, dan sangat maskulin. Jika sifat ini dimiliki oleh seorang pemimpin, maka karakteristik kepemimpinan SBY yang dicitrakan adalah pemimpin yang “sayang” kepada rakyat sebagaimana seorang bapak, suami, kakek yang begitu sayang kepada keluarganya.
Foto-foto yang muncul dalam iklan SBY, secara keseluruhan banyak menampilkan kegiatan SBY dengan keluarga besarnya. Kedekatan SBY dan keluarganya menjadi ide utama iklan ini, terutama hubungan antara SBY dengan istrinya. Pada setiap kesempatan, sang ibu negara selalu setia menemani, mulai dari pertemuan keluarga hingga urusan kenegaraan. First lady, memang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari figur seorang pemimpin negara. Bahkan tak jarang komentar tentang ibu negara, seperti bagaimana penampilannya, cara berpakaian, cara berbicara, dan sebagainya menjadi perbincangan yang menarik. Kita ingat, bagaimana sosok ibu Tien Soeharto begitu membayangi kepemimpinan suaminya, M. Soeharto dulu. Sehingga muncul kepercayaan di masyarakat ketika ibu Tien meninggal dunia, kejayaan sang penguasa negara ini pun ikut surut. Iklan SBY, juga menampilkan peran sang ibu negara di balik kesuksesan sang suami. Tak kurang sebelas gambar semuanya menampilkan SBY yang didampingi sang istri ketika melakukan berbagai kegiatan. Secara semiotika, penampilan first lady yang selalu berada di setiap kesempatan kegiatan sang Presiden, bisa bermakna bahwa SBY akan selalu berkomunikasi dengan istrinya, Ani Yudhoyono, untuk masalah pekerjaannya. Bisa jadi, gaya kepemimpinan SBY hampir mirip dengan gaya kepemimpinan presiden RI ke 2, yang diam-diam menghanyutkan, dan dibelakang “kehebatan” sang presiden, tidak dipungkiri adanya sosok ibu negara yang begitu berpengaruh. Foto ibu Ani sedang merapikan pakaian pramuka yang dikenakan SBY, bisa menjelaskan makna tanda itu.
Secara keseluruhan, dalam perspektif semiotika, iklan ini ditujukan agar masyarakat dapat melihat sosok presiden yang memiliki gaya kepemimpinan “kebapakan”, sehingga gaya kepemimpinan yang ditawarkan tak ubahnya seperti seorang bapak kepada anaknya. Ia akan selalu mengayomi, melindungi, dan menyiapkan anaknya menjadi seorang yang sukses, bahkan melebihi bapaknya. Peran bapak disini merupakan nilai jual yang diharapkan oleh tim sukses SBY menjadi nilai tambah untuk mendongkrak perolehan suara kelak di pemilihan presiden.

Namun, disamping tujuan mulia yang diharapkan oleh tim sukses SBY dalam pesan iklan ini, kita bisa juga memaknai pesan tersebut dengan cara yang berbeda bahkan berseberangan. Semiotika memberikan kesempatan yang luas bagi pembaca tanda memaknai tanda yang dilihatnya. Rangkaian gambar yang dimunculkan dalam iklan ini, memiliki relasi yang begitu kuat dengan kultur budaya masyarakat Jawa pada umumnya, yaitu mangan ora mangan, ngumpul. Dan budaya Jawa adalah budaya patriarki, dimana sosok lelaki (bapak) merupakan sosok agung. Budaya sungkeman adalah bukti kepatuhan seorang anak kepada bapaknya atau orangtuanya. Nah, jika dikaitkan dengan urusan memimpin negara, kita bisa menilai bahwa SBY akan erat sekali dengan budaya mangan ora mangan, ngumpul tadi. Iklan ini menampilkan seberapa dekat SBY dengan keluarganya. Bisa dibayangkan, jika demikian maka SBY juga memiliki prioritas yang cukup tinggi terhadap keberadaan keluarga, keharmonisan keluarga, dan tidak menutup kemungkinan citra KKN akan mudah melekat dalam diri SBY. Ideologi patriarki dan jawaisme tulen juga akan berpengaruh besar terhadap gaya kepemimpinannya. Budaya sungkeman, yang merupakan warisan leluhur di masa kerajaan jawa, yang pada waktu itu dilakukan oleh para punggawa kepada Raja dan Permaisuri. SBY akan menjadi pemimpin yang selalu diagungkan, sulit untuk menerima kritik/ saran karena ia merupakan seorang pemimpin yang harus dihormati, dipatuhi, dan disegani oleh rakyatnya.

Gambar 2. Efek transisi pada image cucu presiden dengan SBY (sumber : repro TVOne)

Rangkaian iklan ini diakhiri dengan gambar cucu SBY yang dilanjutkan dengan efek transisi yang memunculkan gambar SBY sedang tersenyum bijak. Relasi antara kedua tanda tersebut menjelaskan tatapan masa depan seorang anak yang analogi dari generasi penerus bangsa adalah sosok pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan “kebapakan”, yaitu SBY. Foto penutup iklan ini menampilkan SBY sedang tersenyum ramah, menatap ke depan dengan penuh karismatik dan latar belakang kibaran bendera merah putih, yang menjelaskan bahwa ia seorang nasionalis modern.

Sekarang kita lihat iklan politik pencitraan yang diusung oleh tim sukses dari pasangan JK-Wiranto. Saya pilih salah satu iklan bertema “Tauladan Sang Negarawan – edisi Solihin GP”. Iklan ini sebenarnya terdiri dari lima seri iklan dengan JK sebagai tokoh sentralnya. Johans Foundation sebagai pembuat iklan yang bergenre layanan masyarakat ini, menyuguhkan lima tokoh nasional yang kesemuanya memuji karakter kepemimpinan JK, selain Solihin GP, juga menampilkan Syafi’i Ma’arif, Kwik Kian Gie, Hasyim Muzadi, dan Budiarto Shambazy. Secara keseluruhan, iklan ini menampilkan sosok JK yang tegas, namun santai. Iklan ini diawali dengan uraian dari JK : Bangsa kita sedang berpacu. Banyak persoalan yang membutuhkan solusi yang cepat dan tepat. Kalau kita selalu ragu, kita akan selalu tertinggal. Lalu ditampilkan testimoni seorang pejuang kemerdekaan, Solihin GP: Pa Jusuf Kalla ini orangnya sederhana, tegas, dia juga cepat, leadershipnya bagus. Menurut saya itu sifat kepemimpinan yang percaya diri. Lalu disambung dengan JK : Saatnyalah harus berpikir cerdas, dan bertindak cepat untuk rakyat. Dan ditutup dengan teks : Percaya diri, ciri seorang negarawan.


Gambar 3. Seri iklan tv profil JK, sang negarawan yang dibuat oleh Johans Foundation (sumber : repro TVOne)

Dalam iklan ini, sosok JK ditampilkan santai, penuh percaya diri, dengan gaya bicara yang lugas dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Ciri khas seorang pengusaha yang selalu siap dalam menghadapi berbagai ekses dunia bisnis, dan harus tanggap terhadap persoalan-persoalan yang muncul. Tim sukses JK menggulirkan imagologi politik figur JK sebagai orang yang penuh percaya diri, tegas, dan bukan orang yang plin-plan, dengan menampilkan testimoni dari Solihin GP. Pemunculan karakter kepemimpinan JK yang tegas merupakan “jawaban” bagi gaya kepemimpinan presiden saat ini yang dianggap lambat. Gaya kepemimpinan JK memang erat dikaitkan dengan gaya seorang pengusaha. Dalam bisnis, siapa yang lambat dalam mengambil keputusan, maka dia akan tertinggal dan ditinggalkan oleh rekanannya. Gesture dan psyiognomie JK yang dimunculkan dalam rangkaian iklan tersebut mengonotasikan sikap tegas dan percaya diri namun tetap dekat dengan siapa saja. Ketika JK berbicara dia terlihat tegas, namun selalu diiringi dengan senyum simpulnya. Gaya berpakaiannya yang santai juga meredusir kesan formal dari figur JK. Hal ini merupakan daya tarik bagi figur JK yang dimunculkan oleh tim suksesnya bahwa JK adalah seorang pemimpin yang begitu dekat dengan masyarakat, tampak sederhana, tidak formal namun memiliki wibawa yang baik, sangat berbeda dengan profil SBY yang tertib, rapi, bersahaja, khas seorang prajurit.

Berbeda dengan iklan SBY, tim sukses JK tidak menampilkan profil JK dengan keluarganya. Sebagai seorang pengusaha, sepertinya tim sukses JK memahami bahwa figur JK harus terpisah dari keluarga. Bisa dipahami hal ini untuk menghindari persepsi masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang bagi seorang pemimpin, apalagi JK seorang pengusaha sukses. Dalam budaya non Jawa, memang tidak dikenal istilah mangan ora mangan, ngumpul tadi. Jadi figur JK lebih ditampilkan one man show. Keluarga tidak ditampilkan secara vulgar sebagai salah satu penyokong keberhasilan kepemimpinannya. Tampilan JK sedang duduk di kursi, dengan sikap santai, dan menyampaikan orasinya dengan lugas, tegas, merupakan dualisme yang perlu digarisbawahi disini. Sikap santai yang terwujud dalam citra JK, bertolak belakang dengan jargonnya yang mengedepankan “cepat”.

Namun demikian, iklan ini bisa saja membawa pesan seduksi, permainan citra, atau berbagai strategi penampakan yang mempesona lainnya. Dalam realitasnya, kerja keras dibutuhkan untuk mencapai tahapan pembangunan yang signifikan di tataran masyarakat luas. Imagologi yang dibangun dalam iklan ini dalam perspektif semiotika bagaikan menampilkan figur JK yang sudah melaksanakan berbagai percepatan di segala bidang (dalam arti kemajuan), padahal kenyataan di masyarakat bisa saja terbalik, seperti rakyat miskin makin banyak, nilai rupiah makin merosot, dan berbagai hal negatif lainnya. Imagologi politik figur JK yang percaya diri, mampukah menyelesaikan kompleksitas persoalan negara kita? Apakah kecepatan saja yang diperlukan untuk memutuskan berbagai kebijakan yang pro rakyat? Seperti iklan-iklan pencitraan lainnya, realitas kebenaran paling hanya 20%, selebihnya adalah halusinasi.

Nah, bagaimana dengan citra calon presiden Megawati? Sampai tulisan ini saya buat, belum ada satu iklan pun yang dibuat oleh tim suskses Mega-Pro yang menjelaskan sosok Megawati. Kita tahu pada kampanye capres terdahulu, Megawati dicitrakan sebagai sosok ibu, dan gaya kepemimpinannya pun “keibuan”. Dan seperti biasa, bayang-bayang Soekarno selalu dilekatkan kepada figur ibu Mega. Namun kini, tim sukses Mega-Pro sepertinya lebih mengedepankan sosok Prabowo, yang digambarkan sebagai pemimpin yang peduli rakyat kecil. Hal ini sepertinya menjelaskan bagaimana tim Mega-Pro sangat mengharapkan perolehan suara dari para simpatisan Prabowo. Dalam perspektif semiotika, keputusan yang diambil oleh tim sukses Megawati sepertinya tahu benar bahwa imagologi politik figur Mega tidak perlu dibangun kembali, mungkin merekapun sadar bahwa masyarakat sekarang sudah lebih cerdas, sehingga kebanyakan iklan capres Megawati lebih menyoroti kekurangan-kekurangan (dalam kacamata oposisi) pemerintahan SBY. Bahkan empat iklan dari tujuh iklan yang telah disiapkan tim sukses MegaPro tidak layak tampil di stasiun TV nasional karena isinya mendiskreditkan pemerintahan SBY.

Sekarang tinggal bagaimana masyarakat memahami iklan-iklan capres ini untuk menjadi acuan dalam memilih pemimpin bangsa ini yang merupakan penentu bagaimana Indonesia masa datang, paling tidak untuk lima tahun ke depan. Apakah iklan-iklan tersebut merupakan realitas yang sebenarnya, atau hanya sebuah seduksi? Kembali mengingatkan, janganlah kita menjadi masyarakat yang spectacle, tapi jadilah masyarakat berpikir. Berpikir untuk kepentingan wong cilik yang harus dilanjutkan dengan cepat dan tepat. Piss ahh..

DAFTAR BACAAN
1. Yasraf A. Piliang (2004), Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, Jogjakarta, Jalasutra.
2. Yasraf A. Piliang (2005), Transpolitika, Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas, Jogjakarta, Jalasutra.
3. Editor: Alfathri Adlin (2006), Resistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas, Jogjakarta, Jalasutra.
4. Alex Sobur (2006), Analisis Teks Media, Bandung, Remaja Rosdakarya.
5. Kompas.com

Tinggalkan komentar